Postingan

Bermotor Menuju Timoer (Part Finale)

Melewati rute 17 dan rute 21 jalan nasional adalah ketidaksengajaan yang mengejutkan dalam artian positif. Jalan lebar, aspal kualitas tinggi, dan juga kontur yang meliuk naik turun adalah medan paling mengasyikan bagi pemotor sepertiku. Kegembiraan di Nagreg pun terulang kembali. Entah berapa kecepatan maksimum yang teraih siang itu, aku tidak memperhatikannya. Yang pasti tidak sampai sekencang di Nagreg karena jarum rpm belum menyenggol angka '10'. Banyak terpapar angin membuat mata berat juga lama-kelamaan, cadangan energi dari proses metabolisme es kelapa muda yang kukonsumsi tidak jauh dari gapura selamat jalan Ponorogo juga tinggal sedikit. Niat hati langsung mengarah ke Kedung Tumpang jadi gagal dieksekusi, akan bahaya jika aku tetap bersikukuh sesuai rencana awal. Aku melipir ke sebuah surau kecil dan mengaso di sana. *** Hampir gelap, tapi masih belum terlalu jingga langitnya ketika sampai di pantai Kedung Tumpang. Aku permisi ke sekumpulan bocah yang sedang nongkrong

Bermotor Menuju Timoer (Part 10)

Gambar
Tidak ada tujuan spesifik selepas meninggalkan Jogja. Rencana ke Pacitan memang sengaja kubatalkan mengingat rutenya yang terlampau melambung dari jalur utama. Dan sebagai ganti Pantai Klayar, aku telah memilih satu pantai di daerah Tulungagung. Si merah melaju masih dengan kecepatan yang konstan, melewati jalan aspal yang lebar, lalu berganti dengan jalan cor, lalu berganti lagi menjadi aspal mulus. Meski rupa jalan berganti, namun tidak dengan apa yang ada di pinggirnya. Lansekap di kiri dan kanan didominasi dengan hutan jati yang meranggas, menampakkan kokohnya batang pohon yang bercabang tak tentu arah. Sedikit sekali hijauan yang bisa tertangkap pandangan mata. Meskipun sudah masuk bulan Agustus, hawa hujan masih belum sedikitpun dirasakan tanah Jawa. "Selamat Datang Ponorogo" tertulis di gapura perbatasan. Kota Reog inilah yang pertama aku sasar untuk didatangi selepas Jogja. Tidak ada yang istimewa dari Ponorogo kecuali aku hanya ingin mengetahui bagaimana suasana Bade

Bermotor Menuju Timoer (Part 9)

Bangun pagi-pagi demi mencicip lupis Mbah Satinem yang berhasil menembus kurasi Netflix, aku pamit sekitar jam enam lebih sedikit. Temanku mengantar keluar kosan dengan kelopak mata yang sedikit timbul. Wajar saja, ia lanjut mengerjakan tugas kuliahnya yang sempat tertunda agenda ngobrol larut malam denganku, di saat aku yang tak tahu diri ini sedang molor tak lama usai meletakkan pipi di bantal. Lupis Mbah Satinem, seenak apa sih? Letaknya yang strategis tidak jauh dari Tugu Jogja sangat mudah untuk ditemukan, titiknya di gmaps pun juga sudah tepat. Hanya butuh beberapa menit untuk mencapai tempat Mbah Satinem dari kosan temanku di sekitar UGM. Ketika sampai... alamak!! antreannya sudah gak masuk akal! bahkan lebih cenderung mengeroyok daripada antre. Biasanya aku enggan untuk berepot-repot demi sesuatu yang orang lain juga banyak yang tertarik, tapi karena mumpung di Jogja dan sudah telanjur sampai, ya apa salahnya untuk coba ikut antre? Aku mengambil keplek dengan nomor 30-an. Sepin

Bermotor Menuju Timoer (Part 8)

Gambar
Yang berlebihan itu memang tidak baik, apapun itu tak terkecuali ketenangan. Ketenangan berlebih yang melingkupi Seplawan membuatku kian lama merasa ada yang "aneh". Daripada pikiran semakin berkecamuk, aku akhirnya turun meninggalkan kompleks gua tersebut dan meneruskan perjalanan. Mengikuti peta kembali ke rute utama hingga sampai di suatu pertigaan, lalu aku berhenti sejenak. Ke kiri adalah jalan menuju Kalibiru, sedang ke kanan berarti langsung mengarah ke kota. Kalibiru sebenarnya sudah masuk ke itinerary awal, tapi agak ragu untuk mengikuti jadwal perjalanan itu. Apa iya harus menambah jarak dan waktu tempuh untuk pergi ke sana, setelah baru saja mengunjungi Seplawan yang malah tidak terencanakan sebelumnya? Namun jika langsung pergi ke kota, aku tidak yakin akan bisa dapat kesempatan lagi untuk pergi ke Kalibiru dalam waktu dekat, hmmm.  Gamang memilih antara dua pilihan itu, aku melamun sebentar di atas jok motor. Menimbang dua pilihan yang sama-sama tidak salah meman

Bermotor Menuju Timoer (Part 7)

Gambar
Tak lagi banyak kerumunan manusia di puncak Sikunir. Rupanya mayoritas pengunjung memutuskan untuk segera turun setelah cukup terpuaskan dengan atraksi utama beberapa saat lalu. Namun bagi aku yang datang telat, tayangan after credit  ini masih cukup bagus, bagus banget malah. Aku tetap bergeming, melihat langit yang kian terang dan membiru bersih tanpa gumpalan cumulus sedikitpun. Sayang sebenarnya lekas meninggalkan puncak. Jika saja perut tidak menagih haknya mungkin aku bisa bertahan lebih lama di atas. Melewati jalan yang sama, aku turun untuk menuju parkiran motor. Jalanan cor yang tadi tak kuhiraukan karena tergesa-gesa, jadi menarik perhatianku sekembalinya dari atas. Banyak penjaja makanan yang membuka lapak, ada juga yang membuka semacam kafe atau tempat makan yang sedikit lebih "resmi". Namun dari sekian banyak yang dijual, tidak berlebihan untuk menyebut kentang panggang dan carica sebagai primadonanya. Kentang panggang yang kumaksud adalah kentang Dieng asli yang

Bermotor Menuju Timoer (Part 6)

Ponsel yang mendengking mengusikku, beruntung tak sampai mengganggu orang di dalam rumah. Di sudut kiri atas hp terbaca angka dua titik sekian-sekian, masih terlalu dini untuk berangkat. Jarak dari Banyumas ke Dieng hanya dua jam berkendara, dan dari hitung-hitungan orang ngantuk tambahan molor setengah jam masih dapat ditolerir.  " Santai, masih bisa dapat sunrise kok ", lalu beberapa detik kemudian telah hilang kesadaranku. Maka yang terjadi kemudian sudah bisa ditebak, tulah akibat ' tidur sebentar lagi deh'  benar adanya. Alih-alih menambah barang 5-10 menit, malah kebablasan hingga pukul 2.45, sial! Ditambah dengan merapikan kembali tempat menumpang dan mempersiapkan semuanya, akhirnya aku baru benar-benar melintas kembali di aspal hampir jam tiga. Entah bisa dapat sunrise atau tidak nantinya, aku cuma fokus menjaga laju motor sekencang yang kubisa. Ada mobil nyungsep di pinggir jalan gak kuhiraukan, takut bermotor sendirian di tengah hutan gak kupedulikan, pun k